Bagi Priyayi Jawa, burung menjadi salah satu dari sapta brata yang harus dimiliki. Oleh karenanya masyarakat Jawa khususnya para laki-laki banyak yang memelihara burung atau kukilo khususnya burung perkutut.
Banyak pertimbangan mengapa masyarakat Jawa khususnya kaum lelakinya memelihara burung perkutut. Diantara berbagai pertimbangan tersebut yakni sekedar prestise hingga nguri-nguri ajaran adiluhung nenek moyang.
Leluhur orang Jawa dulu sering memberi wejangan bahwa manuk (burung) terdiri dari unsur kata ma (manjing) dan nya (nyawa) yang artinya urip atau hidup. Wejangan itu kemudian diterjemahkan dengan “aja mung ngoceh, nanging manggungo utawa yen ngomong kudu sing mentes” artinya kalau berbicara harus yang berisi.
Selama ini terdapat dua macam kategori orang yang gemar akan burung perkutut, yakni karena anggung (suara) dan karena cirimati (ciri baku) atau katuranggan. Orang yang menyukai burung perkutut karena anggung atau suaranya kebanyakan akan diikutsertakan dalam lomba atau sekedar hanya untuk klangenan. Sementara yang suka burung perkutut karena cirimati atau katuranggan biasanya memiliki kepercayaan bahwa dengan memelihara burung perkutut akan bisa mendatangkan rezeki atau keberuntungan.
Konon kepercayaan masyarakat Jawa akan katuranggan, angsar atau tangguh burung perkutut dipengaruhi oleh legenda Joko Mangu. Diceritakan dalam legenda tersebut bahwa saat zaman Kerajaan Majapahit dulu ada burung perkutut yang merupakan jelmaan Pangeran dari Pajajaran yang bernama Joko Mangu. Burung tersebut lepas dari Pajajaran dan terbang kea rah timur hingga ke Majapahit. Selanjutnya Burung Perkutut dengan nama Joko Mangu itu lepas lagi dari Majapahit dan terbang ke arah pesisir. Artinya pulung atau keberuntungan Majapahit lepas dan akhirnya menuju ke arah pesisir hingga munculah Kerajaan Demak. Dari pesisir akhirnya Joko Mangu terbang lagi dan menuju ke selatan dan ditemukan oleh Ki Ageng Paker dari Ngayogyakarta.
Terlepas dari kontroversi legenda Joko Mangu tersebut, seorang penggemar burung di Yogyakarta Tjipto Haribowo melihat memelihara burung bukanlah sekedar mengikuti falsafah orang Jawa akan kemuliaan hidup. Lebih dari itu hobinya memelihara burung bisa menyegarkan pikiran yang kalut ataupun stres akibat beban pekerjaan yang memang cukup berat ia terima.
Sebagai seorang Kepala Bidang Bina Marga pada Dinas Kimpraswil DIY yang notabene harus merencanakan, membangun, memeliharan dan mengawasi begitu banyak pekerjaan jalan dan jembatan yang ada di wilayah Provinsi DIY, telah membuatnya terkuras banyak energi dan pikiran. Untuk itulah, dalam rangka mengurangi beban pikiran yang diakibatkan banyaknya pekerjaan yang harus ia selesaikan, hobi memelihara burung ia tekuni.
“Saya ini dari dulu nggak banyak punya keinginan dan hobi. Satu-satunya hobi saya ya itu, memelihara burung. Olahraga pun yang saya gemari hanya sepak bola. Jadi ya keseharian saya kalau di rumah tidak ada pekerjaan, pasti merawat burung dan mendengarkan kicauan merdunya,” papar Tjipto suatu ketika di kantornya.
Dalam memelihara burung perkutut yang perlu dipersiapkan adalah diri pribadi orang itu sendiri. Artinya, kepercayaan akan katuranggan, pulung atau angsar dan tangguh harus tetap ditempatkan pada posisi yang semestinya. Kepercayaan akan Tuhan menjadi mutlak, melebihi kepercayaan pada siapa dan apapun.
Mengenai pulung atau wahyu, akan datang dengan sendirinya, jika seseorang itu telah benar-benar tertata. Dalam dunia pewayangan selalu pulung sing nggoleki uwong, dudu uwong sing nggoleki pulung atau isi sing nggolek wadhah, dudu wadhah sing nggoleki isi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar